Defisit Neraca Sebagai Early Warning Pemerintah Untuk Meninjau Kembali Kebijakan Perdagangannya



Neraca perdagangan Indonesia secara year on year pada Juni 2018 sudah menjadi negatif dengan penurunan sebesar 113,33% atau defisit sebesar kurang lebih US$1 milliar. Hal ini sudah cukup mengkhawatirkan karena defisit neraca perdagangan merupakan sinyal bahwa importasi yang terjadi di dalam negeri sudah tinggi dan tidak seimbang lagi dengan ekspornya. Umumnya bila negara mengalami defisit neraca perdagangan, pemerintah melalui Bank Sentralnya akan mendevaluasi mata uangnya sementara agar produk ekspor bisa menjadi lebih kompetitif namun apabila dilihat kembali di dalam neraca perdagangan secara year on year pada Juni 2018, kenaikan nilai impor jauh lebih signifikan ketimbang kenaikan nilai ekspornya terutama untuk produk impor non migas yaitu hampir sebesar 24%. Hal ini menyebabkan pemerintah harus mendevaluasi nilai mata uangnya apabila menginginkan surplus neraca perdagangan kembali. Namun, sebelum neraca perdagangan positif, investor asing akan melakukan aksi jual (foreign net sell) sehingga terjadi capital outflow.  


Defisit neraca perdagangan ini harus menjadi perhatian khusus dan penanganan ekstra oleh pemerintah. Selain dari peningkatan ekspor, pemerintah harus dapat mengendalikan barang impor yang melonjak tajam terutama produk baja dan alumunium. Meskipun sudah banyak instrumen yang dikeluarkan oleh pemerintah di masa lampau seperti Anti-Dumping, Safeguard maupun Standarisasi Wajib (SNI). Akan tetapi, selalu ada celah untuk memasukkan barang impor ke dalam negeri melalui pengalihan nomor HS yang belum memiliki SNI Wajib maupun melalui nomor HS dengan tarif nol persen. Banyak produk besi dan baja masuk ke dalam negeri sudah merupakan barang jadi dan bukan bahan baku. Hal ini dapat memberi dampak negatif bagi produsen dalam negeri dikarenakan proses nilai tambahnya dilakukan di negara pengekspor. 

Sebagai gambaran contoh terjadinya potensi kehilangan nilai tambah, misalkan harga slab saat ini adalah US$ 450 per ton sedangkan harga baja canai dingin yang dilapisi aluminium dan seng adalah US$ 900 per ton. Apabila dominasi impor produk baja di barang jadinya maka bisa dipastikan neraca perdagangan akan selalu defisit dan nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing semakin terpuruk. Secara year on year di bulan Mei 2018, nilai impor besi dan baja yang melalui HS 72 naik sebesar 39% atau naik sebesar US$ 1.2 miliar. Ditambah, produk akhir dalam bentuk Baja Paduan atau prefabrikasi yang melalui HS 73 naik lebih banyak sebesar 74% atau naik sebesar US$ 700 juta.
 
Ditambah lagi Trump sekarang ini sedang melakukan aksi perang dagang dengan beberapa negara termasuk Indonesia. Negara-negara seperti China, Kanada dan Uni Eropa berani untuk membalas kebijakan tarif Trump terhadap produk baja dan alumunium dengan melarang masuk beberapa produk Amerika Serikat ke negara-negara tersebut. Sementara menurut Trump, hubungan perdagangan Indonesia dan Amerika Serikat tidak saling menguntungkan karena begitu banyak ekspor dari Indonesia ke Amerika Serikat sebaliknya ekspor dari Amerika Serikat ke Indonesia sangat kecil. Meskipun mungkin seruan perang dagang Amerika Serikat terhadap Indonesia hanya gertakan saja karena nilai ekspor Indonesia tidak terlalu signifikan bisa mempengaruhi GDP negara besar tersebut. Namun, tetap saja, kita perlu berwaspada. Oleh karena itu, Pemerintah tidak bisa tinggal diam dan berharap bahwa ekonomi akan positif dan berjalan sendiri tanpa adanya intervensi pemerintah untuk melakukan langkah-langkah strategis menyelamatkan ekonomi di dalam negeri.

Comments

Popular posts from this blog

Speech given by Nobel Peace Prize and Father of Microfinance, Muhammad Yunus.

Miliki Cita-Cita, Harapan dan Impian !

Mematahkan “Perangkap Setan”